Monday, December 27, 2010

Pencinta-Nya : 'Ubaid ibn Umair'


“Abang,lihatlah wajah isterimu ini..Betapa cantiknya..” Suaminya tersenyum. Si isteri asyik memuji kecantikan wajahnya.
“Tentulah isteriku..Wajahmu sangat rupawan..”
“Abang rasa, ada tak lelaki yang tak tergoda saat memandang kejelitaan saya?” Suaminya terdiam seketika.
Ada isteriku,” jawabnya.
“Apa?! Abang cakap ada orang yang tak akan tergoda melihat wajah jelita saya ni?!”
“Ya, isteriku.Ada seorang lelaki yang tak akan tergoda oleh kejelitaanmu itu…”
“Siapakah dia?”
“Lelaki itu adalah ‘Ubaid ibn ‘Umair …” jawab suaminya.
Kegelisahan menyaluti wajah wanita rupawan itu. Syaitan membisikkannya benih-benih kemungkaran ke dalam dirinya.
“Abang,adakah abang izinkan saya untuk menggodanya?” pintanya.
Suaminya terdiam sedang memikirkan dalam-dalam akan hal itu. Kali ini, syaitan juga cuba membisikkan kepada suaminya untuk membenarkan isterinya berbuat demikian.
“Baiklah, abang izinkan.”
Keesokan harinya wanita cantik itu telah siap menjalankan rencananya. Dia bergegas berjalan menuju Masjidil Haram dan akan berpura-pura seolah-olah ingin bertanya.
“Dan setelah itu,kau rasakan penangan kejelitaanku!” ujar wanita itu pada dirinya sendiri.
Waktu itu, ‘Ubaid ibn ‘Umair sedang duduk berzikir di salah satu sudut masjid. Wanita itu mendekatinya. Dengan nada yang sangat sopan,dia mulai berbicara..
“Maaf, Tuan. Bolehkah aku menanyakan beberapa masalah kepadamu?”
“Oh, tentu saja. Tanyakanlah !” jawab ‘Ubaid ibn ‘Umair tanpa curiga sedikitpun.
Tapi tiba-tiba sahaja, wanita itu menyingkapkan wajahnya. Nampaklah kejelitaan dan kecantikannya memancar bak rembulan. ‘Ubaid ibn ‘Umair terkejut..
“Tidakkah engkau takut pada Allah?! Mengapa Engkau menyingkap wajahmu seperti itu?!”
“Tuan, aku sungguh tergoda denganmu,lakukanlah apa saja yang Tuan inginkan pada diriku…,” Wanita itu cuba untuk menggoda.
‘Ubaid ibn ‘Umair terkejut luar biasa. Hampir sahaja dia tidak tahu mahu berbuat apa. Namun Allah menolongnya. Dia masih dapat menguasai diri dan fikirannya.
“Baiklah. Sebelum aku memenuhi permintaanmu, aku ingin engkau menjawab pertanyaanku. Jika engkau mengiyakan semua pertanyaanku, aku akan penuhi keinginanmu,” kata ‘Ubaid.
“Ah, Tuan. Semua pertanyaanmu pasti akan ku iyakan! Tuan tidak perlu khuatir,” jawab wanita itu dengan penuh keyakinan.
“Baiklah. Katakanlah padaku, jika saja saat ini malaikat maut hadir untuk mencabut nyawamu, apakah engkau masih senang melakukan keinginanmu tadi bersamaku?” pertanyaan ‘Ubaid yang pertama.
Wajah wanita itu berubah. Terkejut. Hilang semua yang direncanakannya sejak tadi.
“Ttte..ntu …tti..dak, Tuan,” jawabnya.
“Andai saja engkau telah dimasukkan ke dalam kuburmu, lalu engkau didudukkan untuk ditanya, apakah engkau masih berfikir untuk melakukan keinginanmu tadi bersamaku?” Tanya ‘Ubaid yang kedua. Semakin cemas paras jelita wanita itu.
“Oh, tentu tidak, Tuan.”
“Wahai hamba Allah! Saat kita semua telah berkumpul di padang Mahsyar untuk mengambil catatan amal kita, dan engkau tak tahu apakah engkau akan menerima catatan amalmu dengan tangan kanan atau tangan kirimu, di saat itu mungkinkah engkau masih berniat melakukan apa yang kau katakana tadi padaku?” kembali ‘Ubaid ibn ‘Umair bertanya untuk ketiga kalinya.
Wanita itu semakin salah tingkahnya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya takut.
“Eh..eh..ttte..te.ntu tidak, Tuan.”
“Sekarang bayangkanlah saat-saat engkau akan menyeberangi jambatan yang melintas di atas neraka, engkau tak tahu apakah engkau akan selamat melewatinya atau tidak. Di saat itu, masihkah engkau mahu melakukan apa yang kau pinta tadi padaku?”
“Sama sekali tidak, Tuan…” jawab wanita itu.
“Baiklah. Ketika timbangan amal telah dihadirkan, lalu amalanmu pun dihadirkan, dan saat itu engkau tak tahu apakah kebaikanmu yang berat ataupun kejahatanmu. Masih terfikirkah olehmu untuk melakukannya?” Tanya ‘ubaid untuk kali keempat.
“Ah, itu saat yang mengerikan, Tuan. Mana mungkin aku berfikir tentang itu…,” ujarnya.
“Dan sekarang dengarkanlah pertanyaan terakhirku. Renungkanlah saat engkau berdiri dihadapan Allah, seorang diri. Engkau akan ditanya. Masihkah di saat seperti itu engkau terbayang untuk memintaku melakukan perbuatan keji itu terhadapmu?”
“Tuan, tidak mungkin…tidak mungkin aku melakukan itu..,” jawab wanita itu. Matanya telah memerah. Tak sanggup lagi menahan butir-butir air mata yang sejak tadi tertahan…
“Kalau begitu, takutlah pada Allah!” ujar ‘Ubaid ibn ‘Umair kemudian membalikkan badannya, dan membiarkan wanita jelita itu menangis tersedu-sedu sendiri. Di sana, di salah satu sudut Masjidil Haram.
Entah apa kini yang ada di benaknya. Tapi jelaslah, pertanyaan-pertanyaan itu terlalu menyentaknya. Wanita itu benar-benar tidak menyangka sedikit pun. Ternyata sang ‘alim yang zuhud itu “menusuk” hati nuraninya yang paling dalam. Dan wanita itupun melangkah pulang kerumahnya…
Suaminya sungguh terkejut. Tadi semasa isterinya meninggalkan rumah, jelas wajahnya begitu berseri-seri. Tapi kini pulang dan menangis tersedu-sedu. Apa yang telah terjadi? Saat si suami bertanyakan pada isterinya. Isterinya menceritakan apa yang telah terjadi.
Sejak hari itu,wanita “penggoda” itu tidak menghabiskan waktunya sedikit pun kecuali dalam tangis-tangis penghambaan pada Allah Rabbul ‘alamin. Hidup adalah jejak-jejaknya menunaikan puasa di siang hari dan solat di malam hari. Hingga tercatatlah kata-kata suaminya dalam sejarah.
“Apa salahku? Mengapa ‘Ubaid ibn ‘Umair 'merosakkan' isteriku? Dahulu, malamku bersamanya adalah malam-malam pengantin baru. Tapi kini lihatlah, dia tak ubah seperti seorang pendeta.. Terus-menerus tenggelam dalam ibadahnya…”

-Allah Maha Mengetahui-

1 comment:

  1. Subhanallah..

    خُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ مِنۡ عَجَلٍ۬‌ۚ سَأُوْرِيكُمۡ ءَايَـٰتِى فَلَا تَسۡتَعۡجِلُونِ

    “Manusia telah dijadikan tergesa-gesa.” (Al-Anbiya’: 37)

    Kte sring b'khndk mlakukn ssuatu mnurt hawa nafsu tnpa mnimbal baik buruk p'kara t'sbut. Tp, ksilpn itu kdgkala adlh guru yg baik bg org2 yg b'fikir. :) insyaAllah

    ReplyDelete